Saat teman-teman
sekolahku hanya bersaudarakan dua, tiga dan maksimal lima orang, saudaraku ada sebelas
orang. Aku adalah anak ke-7 dari 12 bersaudara pada awalnya sebelum akhirnya
pada tahun 1988 kakak-ku yang ke-3 meninggal dunia karena kecelakaan. Yup, kami
sekarang bersebelas saja, posisiku menjadi anak paling tengah berkakak 5 dan
beradik 5. Tetanggaku bahkan bilang
bahwa keluargaku tidak perlu repot lagi mencari pemain kalau mau ikut lomba sepak
bola. Jumlah keluargaku cukup untuk membentuk sebuah tim kesebelasan.
Menjadi bagian dari
sebuah keluarga besar tentu saja ada saat yang menyenangkan dan membahagiakan. Sebaliknya
juga ada saat yang menyedihkan dan menyusahkan. Saat-saat dimana aku menggugat
takdir bertanya-tanya dalam hati mengapa harus lahir dari keluarga besar yang
serba kekurangan. Mungkin kalau keluargaku kaya raya, jumlah keluarga yang
besar tidak menjadi soal. Soal makanan, kami harus rela dan puas dengan jatah
yang sudah ditentukan. Nasi satu piring, lauk tahu tempe satu potong juga
sayuran yang harus cukup dibagi semua anggota keluarga. Kalau ada undangan
selamatan sunnnatan atau walimahan, kedatangan Ayah membawa berkat (makanan) menjadi saat yang kami
nantikan dengan masing-masing dari kami menyiapkan wadah menanti jatah makanan
dibagi rata. Satu telur bisa dibagi 8 atau bahkan 10 sesuai jumlah anak yang
ada pada saat itu. Makin bertambah anak, makin banyak jumlah pembaginya,
artinya jatah makanan yang kami terima menjadi lebih sedikit karena harus
dibagi rata. Kecuali ada saudara yang merelakan jatahnya bagi yang lainnya.
Sudah pasti yang mengalah adalah orang tua, asal anaknya kenyang orang tua
sudah senang.
Saat-saat kecil dahulu,
waktu bermainku hampir hilang karena punya tugas wajib turun temurun wajib
momong adik. Masih kuingat saat itu adikku yang ke-4 masih bayi umur 4 bulanan,
dan aku kebagian tugas momong…padahal
teman-temanku sudah memanggil-mangil mengajak bermain di luar rumah. Adikku
masih melek belum tertidur…kupaksa
dia tidur dengan cara mengisik-isik
(bahasa Tegal = mengusap-usap bagian kepala ke arah muka menutupkan matanya)
mengajaknya tidur. Kemudian meletakkannya ke kereta bayi dan mengayun-ayunkannya
dengan paksa agar adikku tidur. Begitu adikku merem, aku langsung kabur. Pulangnya aku dimarahi Emak (ibuku)
dengan susksesnya karena meninggalkan tugas seenaknya.
Saat aku lulus SD dan
harus melanjutkan ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi di SMP, dengan
terpaksa aku juga harus menurut permintaan orang tuaku untuk menunda sekolah 1
tahun sama seperti dua kakakku sebelumnya. Ya, demi cita-cita aku harus tetap
sekolah dan Emak memintaku untuk ikhlas berbagi kesempatan kepada saudaraku
yang lain karena saat itu dana orang tua kami tidak mencukupi jika aku memaksa harus
sekolah tahun itu juga. Satu tahun aku menunda waktu sekolah membuatku jadi
ketinggalan dengan teman sekelasku waktu SD dan bahkan aku harus satu sekolah
dengan adik kelasku di SD dulu. Ada rasa malu kalau harus bertemu dengan
teman-teman SD-ku dulu. Biasanya aku pilih menghindar supaya tidak bertemu dan
alasan ini juga yang membuatku memilih sekolah jauh di kota kecamatan, karena
teman-temanku mayoritas memilih meneruskan SMP yang letaknya di desaku.
Setidaknya dengan aku sekolah di SMP kecamatan aku hanya akan bertemu dengan
orang-orang baru yang tidak mengenalku. Walaupun tetep saja aku ketemu dengan satu temenku sainganku jaman SD karena
kebetulan SMP tempat aku sekolah adalah SMP Terbaik di kecamatanku. Jadi hanya
yang berprestasi saja yang bisa masuk sini. Alhamdulillah aku salah satunya.
Punya
keluarga banyak, artinya aku harus sangat repot kala mengisi form nama-nama anggota keluarga waktu
mengisi biodata jumlah keluarga. Biasanya ada form yang harus diisi terkait jumlah keluarga waktu mengajukan
syarat penerimaan beasiswa. Bahkan baris yang disediakan di form untuk diisi kurang sehingga aku
harus membuat baris tambahan yang baru sejumlah anggota keluargaku. Seringnya
baris yang disediakan untuk diisi data sejumlah anggota keluarga (termasuk
orang tua) paling banyak 7 baris, itu artinya hanya nama bapak, nama ibu dan
kelima kakak-ku yang muat, jadinya aku harus menambah 7 lagi supaya semua
anggota keluarga muat semua sampai adik bungsuku yang terakhir.
Jarak
kelahiran kami juga cukup rapat, terdekat 1.5 tahun, rata-rata berjarak 2 tahun
dan jarak terlama 3 tahun. Tak heran, seringkali tetanggaku bilang, keluarga kami mirip keluarga
kelinci. Dengan kondisi seperti ini, tentu saja keluarga kami menjadi sasaran dan
target utama penyuluhan tentang KB waktu itu, ketika baru pertama kalinya
program KB masuk ke desaku di tahun 70-an saat anak-anak ibu masih berjumlah sekitar
5. Jumlah yang melebihi kapasitas yang disarankan pemerintah untuk memiliki dua
anak saja. Tetapi dengan tegas Ayah menolak mengikuti program pemerintah,
karena beliau sangat yakin bahwa tiap-tiap anak ada rejekinya masing-masing.
Sampai-sampai petugas penyuluhan pun kapok harus bolak-balik memberi penyuluhan
supaya orang tuaku menghentikan alias memberi tanda STOP supaya tidak
memproduksi anak terus-terusan. Hingga akhirnya Allah mengkaruniai sibungsu
yang lahir di tahun 1991.
Hidup dalam keluarga
besar, sementara ayah dan ibu bekerja dan kami tidak punya pembantu membuat
kami harus mandiri. Sudah menjadi tradisi di keluargaku, begitu menginjak kelas
4 SD maka kami akan diberi tugas rumah dari mulai menyapu rumah pagi dan sore,
mencuci piring dan peralatan dapur bekas memasak, memasak nasi, mencuci
pakaian, menimba air untuk mengisi bak kamar mandi (waktu itu belum ada sanyo),
juga tugas memasak khusus bagi yang perempuan..kalau tidak sempat memasak, maka
tugasnya diganti dengan membeli sarapan pagi, juga lauk untuk makan siang dan
malam..jika tugas sudah selesai, maka anak yang besar punya tugas tambahan
yakni momong adik. Begitulah setiap harinya, kami 11 bersaudara sibuk dengan
tugas masing-masing. Untuk kakak yang sudah menginjak SMP tugasnya hanya
belajar saja sedangkan tugas rumah bergantian diteruskan adik-adik. Begitulah orang
tua kami mengatur dan mendidik kami mandiri.
Memang
benar, tiap-tiap anak punya rejeki masing-masing. Keyakinan tersebut yang
mendorong orang tuaku bekerja dengan keras mencukupi kebutuhan hidup semua
anak-anaknya supaya bisa hidup dengan layak. Ibu bahkan bertekad untuk
memberikan pendidikan kepada semua anak-anaknya tanpa memandang anak perempuan
maupun laki-laki. Semuanya punya hak yang sama untuk disekolahkan. Ibu bilang, biarlah orang tuanya tidak
bersekolah tetapi jangan sampai anak-anaknya tidak bersekolah.
Ketika banyak anak-anak
di desaku yang hanya cukup puas sekolah sampai tingkat SD maka kami anak-anak
Ibu dan Bapak bisa dengan sukses menamatkan pendidikan sampai tingkat SMA
bahkan sampai pendidikan tinggi. Meski orang tua kami hanya mampu membiayai
pendidikan sampai tingkat SMA saja, Alhamdulillah berkat didikan kemandirian
sejak kecil dua Kakakku bisa kuliah sendiri sambil bekerja. Hanya kakak sulung
yang memilih tidak kuliah, bekerja full
demi membantu biaya kuliah dua adiknya. Tentu saja karena banyak adik yang
harus dibiayai maka biaya untuk kami juga pas-pasan bahkan kurang. Saat itu ada
empat adik (termasuk aku) yang kuliah. Aku, Adikku langsung dan Mbak (kakak
ke-4) di IPB dan Masku (kakak ke-5) di Universitas Islam Jakarta sementara empat
adikku yang lain masih SD, SMP juga SMA yang masih dalam tanggungan orang tua.
Sebagai adik, aku juga harus tahu diri. Tak hendak merepotkan kakakku terus-terusan.
Sebaik mungkin aku berusaha berprestasi (memiliki IPK tiga koma) demi tidak
mengecewakan kakakku yang telah bekerja keras membiayai kuliahku juga untuk
orang tua yang setia berdoa demi kelancaran semua urusan kami anak-anaknya. Aku
juga mencari beasiswa supaya mengurangi beban kakak juga kerja sambilan dengan
mengajar SMA swasta di sekitar kampus dan juga menjadi guru les privat.
Ketika kami bertiga
(aku, Mbak nomer 4 dan Mas nomer 5) lulus dan bisa mandiri maka estafet tugas
membiayai adik-adik kami berikutnya pindah ke tangan kami. Meskipun tetap saja
kakak-kakakku tidak lepas tangan. Kini adikku yang di IPB dan UNSOED sudah jadi
sarjana. Segera akan menyusul adalah adik-adikku di UNDIP, ITB dan ITS.
Totalnya sudah ada tujuh sarjana (Kakak kedua, Kakak ketiga, Kakak keempat,
Kakak kelima, aku dan dua adikku).
Alhamdulillah, puji
syukur kupanjatkan kepada Allah. Jumlah keluarga yang banyak yang pada awalnya
kusesali sekarang kusyukuri. Aku bangga dan bersyukur menjadi bagian dari
keluarga ini. Bersyukur memiliki orang tua yang sangat bertanggung jawab dan
amanah terhadap titipan Allah berupa kami anak-anaknya. Orang tua yang bekerja
keras mendidik kami, membekali kami dengan ilmu. Agar kami tak hanya sukses
hidup di dunia dengan bekal ilmu yang kami miliki tetapi juga suskses di akhirat
dengan bekal ilmu agama yang diajarkan sejak dini sebagai anak shaleh dan shalehah. Bisa jadi, kerja
keras orang tua mendidik kami menjadi hamba-hamba Allah yang shaleh dan
shalehah menjadi sebab semakin berkahnya rizki yang didapatkan. Walau secara
materi kami serba kekurangan, tetapi Alhamdulillah kami bisa melewatinya dan
kami bahagia. Ibu selalu bilang
sedikitpun tidak berharap kenikmatan materi yang sudah diperoleh karena
anak-anaknya sukses di dunia. Tetapi doa dan amalan shalehlah yang beliau
harapkan dari anak-anak yang shaleh dan shalehah yang akan pahalanya terus
mengalir meski jiwa sudah berpisah dengan raga. Semoga kami anak-anaknya bisa
memenuhi apa yang menjadi harapan orang tua kami sebagai wujud dan rasa syukur
kami ditakdirkan sebagai anak dari Emak Sari dan Bapak Rawwas. Emak, meski
engkau telah mendahului kami menghadap Yang Maha Suci, kami anak-anakmu akan
berusaha menjadi anak sesuai harapanmu…agar kelak Allah memudahkan jalan kami
bertemu lagi denganmu, berkumpul lagi menjadi satu keluarga di surga-Nya yang
Indah. Banyak anak, banyak rejeki memang benar adanya. Insya Allah.
No comments:
Post a Comment