Monday, February 21, 2011

Asi Tetap yang Terbaik


Sebut saja Eva dia adalah salah satu dari sekian juta ibu Indonesia yang terpaksa harus memberikan susu formula buat anaknya. Sejak masa cutinya habis, terpaksa Eva harus memberikan sufor buat Reza yang masih berusia 3 bulan, dan sayangnya sejak kenal sufor Reza menolak susu ibunya sama sekali. Akibatnya produksi asipun menjadi mandeg dan praktis Reza hanya mengkonsumsi sufor saja untuk kebutuhan nutrisinya.  Isu sufor berbakteri enterobacter sakazaki kembali ramai, Eva pun menjadi salah satu ibu yang juga resah akibat isu ini. Pasalnya hingga sekarang ini 5 sampel dari 22 sampel susu formula yang disinyalir mengandung bakteri hasil penelitian IPB belum juga secara jelas dan gamblang diumumkan secara terbuka kepada masyakat.

Heboh susu formula yang mengandung bakteri sakazaki harusnya makin membuka mata semua pihak bahwa asi memang tiada tanding. Asi adalah makanan terbaik bayi. Sudah murah, steril, nutrisi mudah dicerna bayi dan yang pasti bebas bakteri. Sayangnya perhatian pemerintah seolah abai dalam hal ini. Penulis yakin, sebenarnya jauh di lubuk hati terdalam para ibu pasti ingin memberi asi bagi anaknya. Hanya saja memang ada beberapa kasus yang membuat si anak tidak bisa mengkonsumsi asi. Misalnya seorang bayi yang dilahirkan dari wanita berpenyakit yang penyakitnya itu bisa menular lewat asi seperti HIV atau AIDS. Ada juga yang karena kurang pengetahuan dan persiapan menyusui saat hamil, maka asi keluar tidak lancar ditambah lagi kondisi yang putus asa dan stress sementara iklan susu formula yang begitu gencar maka sang ibu lebih memilih beralih ke sufor. Maka produksi asi yang mengikuti hukum ‘depend on demand’ pun menjadi berkurang  bahkan sampai berhenti. Fakta ini penulis temui di beberapa teman kantor yang hanya berhasil memberikan asi esklusif selama 3 bulan (yakni selama masa cuti). Begitu masa cuti selesai, maka bayi mulai mendapat tambahan sufor. Masih lebih bagus kalo sibayi masih menerima asi disamping sufor, yang menyedihkan dan tragis adalah bayi yang kemudian menolak asi sama sekali. Secara otomatis produksi asipun menjadi berhenti karena tidak ada permintaan bayi.

Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat,  seharusnya memberikan jaminan keamanan pangan dengan standar halalan thayyiban. Semestinya, ada upaya-upaya sistematis-implementatif untuk menihilkan ancaman dan menyingkirkan bahaya sebelum produk makanan dan minuman beredar di pasaran. Dengan demikian, makanan, minuman, dan obat-obatan yang beredar adalah produk yang sepenuhnya terjamin keamanannya termasuk susu formula yang terpaksa harus dikonsumsi bayi juga harus benar-benar terjamin keamanan dan kehalalannya untuk dikonsumsi mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia adalah mayoritas muslim. Pemerintah tidak boleh bertindak reaktif dan lamban ketika terdapat produk yang tercemar bakteri di pasaran. Pemerintah harus segera mengumumkan produk-produk yang tercemar tersebut dan menarik secara total dari pasaran agar tidak timbul keresahan berkepanjangan di tengah masyarakat.

Pemerintah melalui pihak terkait seperti Kementrian Kesehatan sudah saatnya mulai menggencarkan kampanye ASI sebagai makanan terbaik bayi yang  dilakukan diberbagai media. Di Televisi misalnya, kampanye ASI harus lebih gencar dibandingkan iklan susu formula dengan berbagai merknya. Di Rumah sakit-rumah sakit atau sampai puskesmas yang melayani persalinan, para dokter kandungan dan jajarannya (termasuk perawat), juga bidan dan dukun bayi juga harus difasilitasi untuk memberikan edukasi bagi masyarakat khususnya ibu hamil agar mulai mempersiapkan diri menyusui anaknya kelak. 

Khusus bagi para ibu bekerja,hendaknya diberikan cuti kerja minimal 6 bulan yakni sampai periode menyusui esklusif terlewati. Bahkan kalau diperlukan, malah memberikan cuti luar biasa selama 2 tahun sampai periode menyusui terlewati dengan tuntas. Tidak akan rugi pemerintah, karena bayi-bayi asi ini di kemudian hari akan menjadi generasi terbaik negeri ini. Menjadi investasi negeri yang berkualitas.

No comments:

Post a Comment