Friday, November 30, 2012

Mengkritisi Program Kondomisasi sebagai Upaya Penanggulangan HIV/AIDS

opini HIV AIDS tahun 2007..muga2 masih relevan solusinya...yang pasti data 2012 sudah jauh berubah..bertambah banyak, bukan berkurang. 

Mengkritisi Program Kondomisasi sebagai Upaya Penanggulangan HIV/AIDS 

Untuk pertama kalinya sebagai bagian dari acara peringatan Hari AIDS se-Dunia (1 Desember), telah diadakan sebuah kampanye berskala nasional bertajuk “Pekan Kondom Nasional (PKN 2007) pada 1-8 Desember 2007 yang lalu. Kegiatan yang digawangi Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai koordinator pelaksanaan peringatan Hari AIDS se-Dunia ini bertujuan meningkatkan pemahaman dan penggunaan kondom sebagai salah satu cara mengatasi Infeksi Menular Seksual (IMS) khususnya HIV/AIDS. Selama sepekan agenda PKN 2007 antara lain terdiri dari kegiatan membagikan kondom secara gratis terutama pada daerah rawan penularan HIV/AIDS seperti di tempat-tempat pelacuran, terminal dan lain-lain. 

Bagi Indonesia, HIV/AIDS masih menjadi persoalan berat. Sejak pertama kali kasus HIV dilaporkan di Indonesia pada 1987, jumlahnya terus meningkat dengan cepat. Data Departemen Kesehatan menunjukkan, kasus HIV/AIDS pada 1995 masih berjumlah 113 penderita, tetapi pada tahun 2003 melonjak menjadi 1.488 kasus. Jumlahnya terus meningkat, pada tahun 2005 menjadi 5.321 kasus dan hingga 30 September 2006, angka itu telah menembus level 4.617 kasus (untuk HIV positif) dan AIDS sebanyak 6.987 kasus. Penderitanya tersebar di 32 provinsi dan 158 kabupaten/kota. Tahun 2007 data ini meningkat lagi, hingga Maret 2007 dilaporkan ada 8.988 kasus AIDS dan 5.640 kasus HIV di Indonesia. 

Program kondomisasi merupakan upaya yang populer digencarkan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi HIV/AIDS. Program ini digencarkan melalui aktifitas kampanye dalam berbagai seminar, penyebaran pamflet dan stiker dengan berbagai slogan yang mendorong penggunaan kondom untuk tujuan ‘safe sex’, serta pembagian kondom secara gratis dan cuma-cuma. Kini kondom secara mudah dan terbuka juga dapat diperoleh antara lain melalui ATM (Anjungan Tunai Mandiri) kondom yang lokasinya mudah dijangkau dan legal. Program kondomisasi ini terus saja digencarkan seolah kondom adalah senjata ampuh penangkal HIV/AIDS. 

Pernyataan ini sebenarnya sangat diragukan tingkat kebenarannya. Alih-alih mencegah penyebaran HIV/AIDS, yang terjadi justru penderita HIV/AIDS semakin meningkat pesat. Secara fakta ilmiah, sudah banyak dibuktikan melalui penelitian bahwa kondom tidak efektif untuk mencegah penularan virus HIV. Prof. Dr. Dadang Hawari telah menuliskan hasil rangkuman beberapa pernyataan sejumlah pakar tentang kondom sebagai pencegah penyebaran HIV/AIDS. Berikut sebagian dari pernyataan tersebut: 1. Direktur Jenderal WHO Hiroshi Nakajima (1993); “Efektifitas kondom diragukan” 2. Penelitian Carey (1992) dari Division of Pshysical Science, Rockville, Maryland, USA: Virus HIV dapat menembus kondom. 3. Laporan dari Konferensi AIDS Asia Pasific di Chiang Mai, Thailand (1995): Penggunaan kondom aman tidaklah benar. Pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang; dalam keadaan meregang lebar proi-pori tersebut mencapai 10 kali. Virus HIV sendiri berdiameter 1/250 mikron, sehingga leluasa dapat menembus pori-pori kondom. 4. V Cline (1995), profesor psikologi dan Universitas Utah, Amerika Serikat, “Jika para remaja percaya bahwa dengan kondom mereka aman dari HIV/AIDS atau penyakit kelamin lainnya, berarti mereka telah tersesatkan. 5. Hasil penelitian Prof. Dr. Biran Affandi (2000); Tingkat kegagalan kondom dalam KB mencapai 20 persen. Hasil ini mendukung pernyataan dari Prof. Dr. Haryono (1994) bahwa kondom dirancang untuk KB dan bukan untuk mencegah HIV/AIDS. Dapat diumpamakan, besarnya sperma seperti ukuran jeruk garut, sedangkan kecilnya virus HIV/AIDS seperti ukuran tititk. Artinya, kegagalan kondom untuk program KB saja mencapai 20 persen, apalagi untuk program HIV/AIDS tentu akan lebih besar lagi tingkat kegagalannya. 

Sudah jelas dan terbukti bahwa kondomisasi bukanlah program yang tepat untuk mencegah HIV/AIDS sebagaimana yang dikampanyekan selama ini. Di saat budaya kebebasan seks tumbuh subur, ketakwaan individu yang lemah, sifat individual semakin kuat, kontrol masyarakat semakin lemah, kondomisasi jelas akan meningkatkan laju insiden HIV. Hal ini karena orang semakin berani melakukan perzinaan, karena sudah tidak takut dosa dan dengan kondom mereka “merasa aman” dari bahaya infeksi HIV/AIDS. Padahal, faktanya kondom tidak bisa mencegah transmisi HIV. Kampanye save sex use condom justru semakin membudayakan perilaku seks bebas, yang saat ini berbagai faktor pendukungnya tumbuh subur. Seolah-olah ada pesan tersembunyi dari kampanye penggunaan kondom “Bolehlah Anda melakukan hubungan seks bebas dengan siapa saja, asal memakai kondom.” Semakin suburnya seks bebas berarti memfasilitasi transmiter HIV dan akhirnya semakin menambah laju infeksi HIV. 

Berbagai konferensi penanggulangan HIV/AIDS telah diselenggarakan di seluruh dunia. Namun anehnya, tidak ada satu pun hasil rekomendasi yang dikeluarkan untuk mencegah perilaku dan kehidupan seks bebas yang sudah jelas dan terbukti mempunyai andil besar dalam penyebaran virus ganas ini. Bulan Agustus yang lalu (19-23 Agustus 2007), misalnya lebih dari 2500 orang dari 60 negara di kawasan Asia dan Pasifik berkumpul dalam konferensi Internasional AIDS Asia dan Pasifik (International Conference on AIDS in Asia and The Pacific atau ICAAP) ke-8 di Colombo Sri Lanka. Pertemuan selama empat hari ini mendatangkan berbagai pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, pakar medis, akademisi, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), pekerja komunitas dan media. Mereka membicarakan isu-isu seputar stigma dan diskriminasi, akses layanan bagi ODHA, pentingnya meyakinkan kembali para pimpinan politik untuk menepati janji mereka, serta memperluas layanan kesehatan bagi mereka yang terinfeksi HIV. Mereka juga saling bertukar pengalaman dan tantangan yang dihadapi, termasuk masalah hak asasi manusia, keamanan, gender dan seksualitas, serta keterlibatan ODHA yang lebih besar dalam program HIV/AIDS. Namun tidak ada satu pun pembicaraan mereka yang mengarah kepada akar penyebab HIV/AIDS seperti seks bebas. Tentu saja perilaku dan kehidupan seks bebas sebagai penyebab utama penyebarluasan virus HIV/AIDS tidak dipersoalkan dan bukan merupakan isu utama yang dibicarakan. Perilaku seks bebas alias zina adalah salah satu perilaku yang dijamin dalam sistem demokrasi sebagaimana diberlakukan juga di Indonesia. Perilaku seks bebas dianggap sebagai salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang harus diakui. Di Indonesia, misalnya salah satu buktinya adalah tidak adanya UU yang bisa menjerat pelaku perzinaan. Yang ada adalah pasal dalam KUHP yang terkait dengan delik pemerkosaan. Artinya, selama hubungan seks dilakukan atas dasar suka sama suka maka hal itu tidak menjadi masalah dan aman dari jerat hukum. 

Dengan kondisi sistem demokrasi yang diberlakukan di Indonesia saat ini, maka wajar juga kalau pemerintah seolah mempertahankan solusi kondomisasi sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS. Padahal sudah diketahui bersama ketidakefektifan dan ketikberhasilan solusi tersebut.HIV/AIDS bukannya berkurang tetapi justru menunjukkan kecenderungan semakin meningkat perkembangannya dari tahun ke tahun. Sudah saatnya program ini ditinjau kembali dan sebaiknya malah tidak usah diberlakukan lagi. Sistem demokrasi yang menjamin kebebasan berperilaku termasuk seks bebas selamanya tidak akan pernah bisa untuk mencegah penyebaran virus HIV/AIDS. Oleh karenanya diperlukan sistem hukum yang tegas yang bisa memberantas HIV/AIDS hingga ke akar-akarnya sebagaimana hukum Islam yang secara tegas memberikan hukuman cambuk atau rajam bagi para pelaku seks bebas (perzinaan). Hukuman yang berfungsi tidak saja sebagai penebus dosa bagi pelakunya tetapi juga sebagai peringatan/pencegahan agar tidak diulangi kesalahan yang sama bagi warga yang lainnya. 

Wallahu a’laam.

No comments:

Post a Comment